Senin, 17 November 2008

Melancong Menuju Tugu Api Abadi di Tabalong

Kalau burung gagak tahu bahwa dirinya buruk, ia akan meleleh seperti salju karena sedih (Jalaluddin Rumi)


Libur catur wulan kedua (cawu II) di awal tahun 2002, membawaku ke pedalaman kampung halaman sahabatku. Perjalananku dari bukit pegunungan (Massenrenpulu) Enrekang Sulawesi Selatan, menuju Tugu Api Abadi di bumi Tabalong Kalimantan Selatan, setidaknya memakan waktu sehari semalam, 1 x 24 jam.


Perjalanan melewati Polmas (Polewali Mamasa), Majene, Mamuju—yang sekarang menjadi Sulawesi Barat dalam pemekaran propinsi di era pemerintahan Megawati—layaknya melalui jalur Pantura, mulai dari Semarang, Tuban, dan Lamongan di pulau Jawa. Kita akan disuguhi dengan pemandangan tepi pantai sepanjang kanan-kiri jalan.


Dari Mamuju, aku harus menaiki kapal Ferry penyeberangan menuju Balikpapan—yang sebenarnya kapal angkutan barang tapi sekaligus dijadikan kapal penumpang—dasar Indonesia. Berlayar di tengah samudra di malam hari, seperti berjalan tak berujung tepi. Berada di tengah kegelapan, hanya ditemani lentera lampu bahtera dan deru suara ombak—berbenturan dengan tubuh kapal, seperti menghantam karang. Dua belas jam—dari jam 18.00 – 06.00—di tengah lautan sudah cukup mengajarkanku tentang arti sepi, makna cahaya, rasa bosan, dan harapan akan kegelapan.


Dari Balikpapan aku naik speed boat selama 15 menit ke Panajem, di sinilah aku mulai menempuh jalur darat menuju Tabalong. Temanku asyik ngobrol dengan penumpang lain dalam bahasa Banjar, aku yang gak ngerti hanya terdiam, tapi ketika ia memerkenankanku dari Jawa, dia mulai menggerutu. Aku tanya apa maksudnya, ternyata ada satu guyonan yang masyhur di Kalimantan tentang logat dan dialek jawa yang kumiliki. Di Jawa kita banyak menemukan huruf o dalam percakapan dan penggunaan nama, seperti opo, lapo, Soekarno, Soeharto, dan Kocok di muho. Aku mengerutkan dahi dengan kata yang terakhir, apa maksudnya. Kata temanku, artinya ‘mencakar muka’, karena terlalu banyak huruf o, diplesetkan jadi krocok di muho.


Dari kejauhan aku melihat Tugu yang puncaknya selalu menyemburkan api. Tugu ini merupakan nama lain dari Tugu Obor atau Monumen Saraba Kawa. Saraba Kawa dalam bahasa Banjar bermakna serba bisa. Kawa Baucap (mampu berkata), Kawa Manggawi (mampu mengerjakan), dan Kawa Manyandang (mampu memikul). Api Abadi menjadi metafora semangat pantang patah arang.


Seorang filsuf Yunani kuno Heraklitos, memilih api sebagai simbol substansi kehidupan. Mite Prometheus menggambarkan api sebagai yang menghidupkan kehidupan. Karakter api adalah panas dan selalu bergerak bahkan ketika tampak diam. Karakter inilah yang kerap digunakan untuk menyimbolkan sifat dari kehidupan yang sejatinya selalu berada dalam gerakan. Kehangatan juga sering dijadikan indikator adanya kehidupan, bahkan kehangatan hidup itu sendiri bisa merupa hasrat atau cinta.


Burung phoenix (baca: finiks), burung api mistik, banyak diceritakan dalam mitologi di beberapa negara besar dunia, seperti Mesir, Libanon, Yunani, Cina, sampai Jepang. Aku ingat, sepeda jengki yang kumiliki dulu, sebagai hadiah sunatan, bermerek Phoenix buatan RRC (Republik Rakyat Cina), yang di tempatku terkenal dengan sepeda RRT (Republik Rakyat Tionghoa—peny.).


Phoenix sering dijadikan simbol dari kebangkitan, keabadian, dan kelahiran kembali (rebirth). Ketika kita menghadapi kemalangan, keterpurukan, kita butuh bangkit kembali untuk melanjutkan kehidupan kita. Jika tidak, kita akan semakin memperparah kondisi kehidupan kita. Kita akan terus menderita. Inilah nilai dari suatu kebangkitan yang disimbolkan oleh phoenix.


Pertanyaan keluarga sahabat yang membuatku tercengang adalah tentang pandangan dan anggapanku tentang Kalimantan, yang dikiranya orang-orang sana masih distereotypekan kanibal, dan uncivilized. Mungkin mereka tidak tau, kalau sebenarnya aku gak jauh beda, sama katronya dengan mereka, mereka hanya tahu kalau Jawa lebih maju, orang jawa lebih beradab daripada suku pedalaman. Rupa-rupanya, masa 32 tahun orde baru, sudah cukup untuk menancapkan nilai-nilai dan hegemoni Jawa di tanah air ini.


Padahal setiap peradaban memiliki sisi gelapnya. Mungkin Rumi benar, Kalau burung gagak tahu bahwa dirinya buruk, ia akan meleleh seperti salju karena sedih. Semoga jawanisasi tidak menghancurkan mereka lebur, sehingga bisa bangkit kembali. Tugu Api Abadi di Tabalong setidaknya menjadi bukti simbolik semangat itu, semangat zaman yang tak pernah lekang, semangat zaman baru (zetgeits).


Jakarta, 17 November 2008.


Rabu, 12 November 2008

Ziarah ke Gua Londa

Stratifikasi kasta yang terbawa sampai mati.

Aku sangat beruntung mempunyai kesempatan untuk mengunjungi sekaligus menziarahi pemakaman alam Gua Londa di Tana Toraja, sekitar pertengahan tahun 2001 beberapa waktu yang lalu. Berpetualang untuk menghilangkan kepenatan setelah selama catur wulan (cawu) bergelut dengan siswa-siswiku

Gua Londa terletak di desa Sandan Uai, Sanggalangi, berjarak sekitar 7 km ke arah selatan kota Rantepao, ibu kota Kabupaten Tana Toraja. Kota yang terakhir ini gagal aku kunjungi, dan aku masih merindukan untuk bisa ke sana suatu saat nanti, dengan orang yang ku kasihi.


Sebelum memasuki gua, aku menemukan puluhan replikasi patung orang yang dikuburkan di dalam gua. Penduduk pribumi menyebutnya dengan tau-tau.. Kompleks pemakaman ini diperkirakan telah berumur ratusan tahun. Di dalamnya terdapat puluhan peti jenazah yang menyimpan jasad para tokoh dan bangsawan setempat. Seorang guide yang bersamaku menyebutnya dengan erong.


Keturunan bangsawan peti mayatnya diletakkan pada posisi lebih tinggi. Semakin tinggi peti matinya berarti semakin tinggi pula derajatnya. Posisi peti ini ada yang menyuruk ke dalam bagian gua yang gelap atau terselip di celah dinding gua yang terjal. Ternyata stratifikasi kasta pun bisa juga dibawa sampai mati.


Aku jadi teringat dengan seorang Guru Zen Hakuin dari Jepang. Ia hidup bertetangga dengan keluarga yang mempunyai usaha rumah makan. Tiba-tiba, tanpa dikabarkan sebelumnya, orang tua gadis tersebut mengetahui kalau anaknya hamil di luar nikah.


Kejadian ini membuat orang tua gadis marah. Sedangkan anak perempuannya tidak mau mengakui siapa yang menghamilinya. Sang gadis pun dipaksa untuk mengakui siapa ayah dari jabang bayi dalam kandungannya. Akhirnya ia menyebutkan nama Guru Zen Hakuin.


Dengan kesumat orang tua gadis menemui sang Guru. “Apakah memang demikian?” jawaban pendek sang Guru. Kejadian ini mencemarkan nama baik sang Guru, yang sudah lama menjalankan kehidupan suci.


Setelah gadis itu melahirkan, anaknya diserahkan pada Guru Hakuin. Sang Guru yang kehilangan nama baik, tidak menggusarkannya. Ia pun merawat bayi itu dengan selayaknya. Ia membelikan susu dan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh si kecil.


Satu tahun kemudian, si gadis sudah tidak tahan lagi. Ia memberitahukan kepada Ayah dan Ibunya bahwa yang menghamilinya sebenarnya adalah seorang pria yang bekerja di pasar ikan.


Ayah dan Ibu gadis itu dengan segera menemui Guru Zen Hakuin, memohon maaf yang sebesar-besarnya, kemudian memungut kembali bayi yang telah diserahkan kepadanya. Guru Hakuin pun rela memberikannya. Ketika menyerahkan anak tersebut, ia hanya mengucapkan “Apakah memang demikian?”


Kisah ini aku dapatkan dalam buku Daging Zen Tulang Zen, dikumpulkan oleh Pual Reps di tahun 1996, diterbitkan oleh Yayasan Penerbit Karaniya.


Aku jadi gak habis pikir, kenapa pangkat, derajat, kedudukan, atau kasta masih bisa pula dibawa sampai mati. Semakin tinggi peti mati ditempatkan, berarti semakin tinggi pula derajat Kebangsawanannya. “Apakah memang demikian?”.


Gang Kancil, 13 November 2008.

Selasa, 11 November 2008

DiRi

Aku di sini

Saat ini

Seperti mimpi


Aku berlari...

Mencari dan mencari...

Sunyi...sunyi...


Kemudian mati

Gamang dalam azali

Ragunan, 7 November 2008


Senin, 03 November 2008

Belajar dari [Selangkang] Syaikh Puji

Kebenaran adalah Tuhan (Mahatma Gandhi)

Berita tentang kelahiran, pernikahan, dan kematian selalu menjadi kabar yang menyerap perhatian, meskipun hal itu perkara lumrah dan terjadi berulang-ulang. Kelahiran menjadi musim memetik hasil panen dari rahim kasih sayang ibu. Pernikahan merupakan momen bercocok tanam, menabur benih, menyiangi, jauh dalam naluri keibuan. Dan kematian sebagai periode kembali ke selangkang ibu pertiwi.

Bisa jadi peradaban umat manusia adalah peradaban selangkang. Sehingga jangan heran, setiap berita, cerita, dan tragedi seputar selangkang menjadi bahan yang selalu menarik dibicarakan, diperdebatkan, dikambinghitamkan, bahkan dinikmati sekaligus.

Ada seorang sahabat bertanya tentang pornografi untuk dijadikan judul skripsi. Aku tidak rekomendasi, karena UU Pornografi masih kontroversi. Gak ada rujukan yang kuat, pada ujungnya hanya berkutat debat kusir tentang definisi. Definisi tentang eksploitasi terhadap selangkang.

Ada seorang kawan bertanya tentang pernikahan Syaikh Puji. Aku jawab normatif aja, ya... kalau menurut hukum positif sih gak boleh, karena batas umur minimal 16 tahun. Sedangkan agama membolehkan karena ukurannya hanya akil balig. Lalu ia bertanya mana yang benar, aku katakan benar dua-duanya. Dia malah tambah bingung. Ehm... lagi-lagi selangkang.

Komnas HAM dan perlindungan anak, mendesak Syaikh Puji untuk membatalkan pernikahannya, karena tindakannya melanggar Undang-Undang, dan sudah dikategorikan tindakan kriminalitas. Bagi mereka yang pro dengan Komnas HAM menganggap bahwa umur 12 tahun adalah masa bermain bagi anak-anak, tidak layak untuk masuk kehidupan orang dewasa. Memang bisa dimaklumi, mainnya orang dewasa itu lebih berbahaya daripada permainan anak-anak. Permainan orang dewasa bisa berdampak destruktif, dan anak-anak hanya sekedar onani, untuk kepuasan diri.

Ada rekan di kantor curiga, jangan-jangan Syaikh Puji seorang pedofilis, yang bersembunyi di balik kedok doktrin teologi. Bagi dia seorang yang berpegang teguh dengan tali agama secara kaku adalah orang yang sakit (patologi). Hidup dalam doktrinal, tidak luwes, layaknya mesin atau robot. Bagi dia Syaikh Puji adalah salah satunya.

Baik yang pro maupun kontra dengan isu ini, sebenarnya mempunyai logika yang sama, melihat fenomena sosial oposisional. Hitam putih, benar salah, baik buruk, tepat keliru, bukannya sebagai darma dalam hirup. Bukankah etika, moral, atau nilai (value), hanya karya cipta, rasa, dan karsa manusia, kalau tidak boleh di bilang akal-akalan manusia.

Sedangkan orang yang menjalankan darma, layak mendapat surga-Nya. menjalan hidup yang ia lalui sebagai takdir ilahi. Bukannya justifikasi atau menghakimi. Kebenaran (baca Interpretasi kebenaran) ada di mana-mana menuju kebenaran-Nya. Karena kebenaran adalah Tuhan. Ia sangat dekat, bahkan lebih dekat dari urat nadi. Dan kebenaran-Nya bisa kita dapatkan dari kedut nadi selangkang kita. Atau kita mau mengambil alih kebenaran atas-Nya.

Jakarta, 3 November 2008.