Senin, 03 November 2008

Belajar dari [Selangkang] Syaikh Puji

Kebenaran adalah Tuhan (Mahatma Gandhi)

Berita tentang kelahiran, pernikahan, dan kematian selalu menjadi kabar yang menyerap perhatian, meskipun hal itu perkara lumrah dan terjadi berulang-ulang. Kelahiran menjadi musim memetik hasil panen dari rahim kasih sayang ibu. Pernikahan merupakan momen bercocok tanam, menabur benih, menyiangi, jauh dalam naluri keibuan. Dan kematian sebagai periode kembali ke selangkang ibu pertiwi.

Bisa jadi peradaban umat manusia adalah peradaban selangkang. Sehingga jangan heran, setiap berita, cerita, dan tragedi seputar selangkang menjadi bahan yang selalu menarik dibicarakan, diperdebatkan, dikambinghitamkan, bahkan dinikmati sekaligus.

Ada seorang sahabat bertanya tentang pornografi untuk dijadikan judul skripsi. Aku tidak rekomendasi, karena UU Pornografi masih kontroversi. Gak ada rujukan yang kuat, pada ujungnya hanya berkutat debat kusir tentang definisi. Definisi tentang eksploitasi terhadap selangkang.

Ada seorang kawan bertanya tentang pernikahan Syaikh Puji. Aku jawab normatif aja, ya... kalau menurut hukum positif sih gak boleh, karena batas umur minimal 16 tahun. Sedangkan agama membolehkan karena ukurannya hanya akil balig. Lalu ia bertanya mana yang benar, aku katakan benar dua-duanya. Dia malah tambah bingung. Ehm... lagi-lagi selangkang.

Komnas HAM dan perlindungan anak, mendesak Syaikh Puji untuk membatalkan pernikahannya, karena tindakannya melanggar Undang-Undang, dan sudah dikategorikan tindakan kriminalitas. Bagi mereka yang pro dengan Komnas HAM menganggap bahwa umur 12 tahun adalah masa bermain bagi anak-anak, tidak layak untuk masuk kehidupan orang dewasa. Memang bisa dimaklumi, mainnya orang dewasa itu lebih berbahaya daripada permainan anak-anak. Permainan orang dewasa bisa berdampak destruktif, dan anak-anak hanya sekedar onani, untuk kepuasan diri.

Ada rekan di kantor curiga, jangan-jangan Syaikh Puji seorang pedofilis, yang bersembunyi di balik kedok doktrin teologi. Bagi dia seorang yang berpegang teguh dengan tali agama secara kaku adalah orang yang sakit (patologi). Hidup dalam doktrinal, tidak luwes, layaknya mesin atau robot. Bagi dia Syaikh Puji adalah salah satunya.

Baik yang pro maupun kontra dengan isu ini, sebenarnya mempunyai logika yang sama, melihat fenomena sosial oposisional. Hitam putih, benar salah, baik buruk, tepat keliru, bukannya sebagai darma dalam hirup. Bukankah etika, moral, atau nilai (value), hanya karya cipta, rasa, dan karsa manusia, kalau tidak boleh di bilang akal-akalan manusia.

Sedangkan orang yang menjalankan darma, layak mendapat surga-Nya. menjalan hidup yang ia lalui sebagai takdir ilahi. Bukannya justifikasi atau menghakimi. Kebenaran (baca Interpretasi kebenaran) ada di mana-mana menuju kebenaran-Nya. Karena kebenaran adalah Tuhan. Ia sangat dekat, bahkan lebih dekat dari urat nadi. Dan kebenaran-Nya bisa kita dapatkan dari kedut nadi selangkang kita. Atau kita mau mengambil alih kebenaran atas-Nya.

Jakarta, 3 November 2008.

3 komentar:

Unknown mengatakan...

narasi yang ilustratif..saya cukup bangga dengan anda..tulisan ini mngingatkan saya pada 'kertas putih' ; seseorang bebas mengisinya entah dengan coretan, noda dsb..pornografi kehilangan makna!

Iyan mengatakan...

kalau memang kambing ya mengembik, kalau memang harimau ya mengaum, menurutku itulah makna dan darma

Red Dog mengatakan...

hebat, tulisan yang bagus :)

kalo gw jujur kontra dengan kejadian ini, dan gw ga setuju dengan Syaikh Puji :)

Entah itu agama atau apa, pernikahan dbwah umur jelas-jelas tidak sesuai

bagaimana dengan psikologi sang istri yang notabane nya masih berusia anak kecil?

tulisan yang bagus :)

peace and love
Red Dog