Kamis, 12 Februari 2009

Freetalk About Freedom


Tulisan ini merupakan jawaban dari pertanyaan seorang sahabat, aktivis HTI, melalui email yang dikirim 31 Maret 2008, "Mohammad Suprobo" dalam jsyudha@telkom.net


Kebebasan, mengapa ada kebebasan?

Kebebasan itu sifatnya naluriah, terutama manusia yang tidak mau terpenjara, terbelenggu, terikat, dan terkungkung dalam satu lingkuangan atau kondisi yang tidak diinginkan (survival for the fittes). Jadi ia memang sudah ada (inheren/given) pada diri manusia.


Dimana letak kebebasan, ada atau mitos?

Bicara tentang letak keberadaan atau wujud kebebasan (freedom), menurut teori kebenaran Parmenides tentang eksistensi obyek-obyek bahwa pikiran itu identik dengan wujud, dan wujud itu apa yang mengisi ruang (bandingkan dengan konsep idea-nya Hegel dan telusuri perkembangan pemikiran Hegelian, Karl Marx termasuk penenus Hegel, dan termasuk mazhab kritis (critic school) di Frankfurt Jerman). Di tilik dari teori kebenaran korespondensial, kebenaran adalah suatu pernyataan atau ungkapan yang jika dan hanya jika ada suatu fakta yang bersesuaian (muthobiqotul khabar bi al-waqi’ atau syarikah menggunkan ungkapan yang lebih dalam yakni muthobiqotul waqi’ bi al-dalil). Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah apakah wujud (being) kebebasan itu harus berbentuk kongkrit (existence) atau hanya abstrak di alam pikiran (substance)?


Sekarang kita mulai dari sebuah pengandaian seperti wujud kongkrit dunia atau alam adalah wajib (meskipun dunia secara holistik dulunya juga tidak ada, tapi secara universal bisa kita saksikan sekarang), lalu apakah fakta ini juga mewajibkan wujudnya makhluk-makhluk (manusia misalnya) yang ada di dalamnya. Padahal manusia itu dari tidak ada, kemudian dilahirkan, tumbuh berkembang, dan meninggal, hilang eksistensinya secara empirik. Setidaknya kita tidak mengetahui keberadaan nenek moyang kita, karena kita hidup tidak sezaman. Jadi keberadaan wujud individual manusia menjadi tidak selalu wajib adanya karena perbedaan ruang dan waktu (mungkin wujudnya dalam kenyataan dan wajib wujudnya dalam pikiran). Berdasarkan hal ini Parmenides kemudian membuat kesimpulan tentang wujud yang mungkin dan wujud yang wajib. Pembahasan tentang wujud menjadi kompleks dan kontroversial di kalangan ilmuwan, filosof, dan teolog dll, kalau dikaitkan dengan wujud Tuhan, baik secara esensi/substansi ataupun eksistensi (tema ini sudah dibahas oleh syarikah dalam thoriqul iman). Berdasarkan pembahasan tentang wujud ini juga, akhirnya Barat terjebak ke dalam keragu-raguan yang tiada akhir, tidak ada yang pasti kecuali keragu-raguan itu sendiri (seperti ungkapan Rene Descartes Cagito Ergo Sum, saya berfikir maka saya ada).


Begitu pun kebebasan, menurut teori kebenaran korespondensial berarti mungkin wujudnya dalam kenyataan (existence), tapi wajib wujudnya dalam pikiran (substance), tentunya hal ini hanya berlaku untuk perkara-perkara yang bersifat partikular-individual bukannya general-universal, dst (lihat bukunya SMN al-Attas. Islam dan Sekularsme, edisi terjemahannya diterbitkan oleh PUSTAKA, Bandung : 1981). Mitos atau realita, tidak hanya bisa dilihat dari ada mewujud (being) atau tidaknya, tapi menurutku kebebasan tersebut sudah sampai pada tujuan yang dimaksudkan atau belum (dalam Islam kita mengenal waqasid asy-syariah). Nah berarti kita bicara tentang fondasi atau landasan, Barat tidak akan pernah sampai ke tujuan itu, karena pondasinya adalah keragu-raguan, relatif, labil, dan inkonsisten (dualis).


Kenapa kebebasan kok digugat, bukankah HTI juga diberi kebebasan?

Ide tentang kebebasan yang selama ini ada adalah ide kebebasan yang dualis (dualism freedom), ini sudah lama mengakar dalam alam pemikiran Barat. Hal ini bisa dilacak dari filsafat akal (Phylosophy of Mind) yang diusung oleh Descartes (termasuk pengikutnya; baca cartesian), Kant, Leibniz, dan Christian Wolf yang mengatakan The dualist (dualistae) are those who admit the existence of both material and immaterial substance. Seperti seorang wanita yang melacur demi kehidupan anak-anaknya dan berkata ”saya memang melacur tapi hati saya tetap suci”, atau kita sering mendengar ungkapan “I slept with him, but my hearts is with you”, atau ungkapan Pak Kyai “ Hati saya di Mekkah tapi Otak saya di Chicago/Jerman” dst. (lihat Epilog Hamid Fahmi Zarkasyi dalam Islamia edisi terbaru). Atau Gadamer yang terkenal dengan konsep oposisi binernya, bahwa segala sesuatu itu diciptakan secara berpasangan, bahkan memungkinkan pasangan itu menyatu dalam satu kondisi atau keadaan (dualis).


Tapi apakah dualisme itu benar-benar realitas atau sekedar persepsi yang menyimpang? Karena unsur monoisme sejak dari kepercayaan zaman primitif prasejarah pun ada, bahkan peperangan antara Zeus dan Titans ternyata dari nenek moyang yang sama (monisme), monster Leviethan ternyata juga diciptakan Tuhan dst. Menurut Hamid Fahmi, peperangan antara dualisme dan monisme sebenarnya adalah pencarian konsep keesaan (tawhidi), tentunya asalkan sang subjek juga berfikir secara tawhidi.


Jadi, kebebasan dalam bingkai demokrasi, dengan pondasi cagito ergosumnya tidak akan pernah (baca mustahil) menemukan apa yang dicari, kalaupun ada yang ditemukan, tidak memuaskan tujuan yang sesungguhnya, sehingga demokrasi menjadi sakral di atas segalanya (demokrasi Über Alles), tak tersentuh (untouchable), dan tidak memberikan solusi yang efektif. Untuk itulah kebebasan perlu digugat.


Kebebasan adalah hak bukan kewajiban. Hak itu untuk dituntut, dan orang yang merampas berkewajiban untuk mengembalikannya (al-haq yuthlab wa laa yu’tho). Kebebasan yang diberikan kepada HTI adalah hak untuk menggugat hak yang lebih hakiki (tawhidi) bukannya dualis. Wallahu a’lam bi ash-shawab.


1 komentar:

Unknown mengatakan...

termyata kebebasan menempati ruangnya. dimensi yang selalu berubah. itulah kebebasan!